(Hanya) Sekedar Bertanya

Bertanya: apakah banyaknya perbendaharaan kata menunjukkan kemajuan suatu negara?
*status saya beberapa waktu lalu

Pertanyaan ini terlintas ketika saya sedang bekerja, saat itu saya sedang meneliti suatu topik dan membutuhkan referensinya yang hanya tersedia dalam Bahasa Inggris, untuk mempermudahnya saya mencoba Google translate. Hasilnya, kalimat dalam bahasa Indonesianya bermakna sangat aneh dan rancu hehehe. Hampir semua penemuan dan perkembangan ilmu teknologi di dalam dunia industri minyak dan gas berawal dari negeri Paman Sam walaupun sekarang ini muncul juga Negara-negara baru yang hobi menginovasikan ilmu dan teknologi seperti Russia, Norwegia, dan China. Dan Indonesia adalah salah satu Negara penghasil minyak di dunia ini yang mengadaptasi ilmu dan teknologinya. Karena itulah, perbendaharaan kata dalam bidang ini masih sedikit (karena kita bukan penemunya), sehingga ketika mentranslate sebuah kata dari B. Inggris ke B. Indonesia kita akan sulit menemukan sinonim atau arti dalam bahasa Negara kita. Contoh, Skin dalam dunia perminyakan menunjukkan seberapa besar kerusakan formasi yang ditimbulkan oleh invasi fluida pemboran. Dalam Bahasa Indonesia skin berarti kulit, yang dalam Kamus Bahasa Indonesia adalah lapisan terluar pembungkus tubuh manusia. Maknanya sungguh berbeda. Negara kita hanya mengenal arti skin=kulit, sedangkan negeri paman sam bukan hanya bermakna kulit. Disinilah saya menganggap kemajuan suatu Negara ditunjukkan dengan perbendaharaan katanya yang banyak. Karena suatu istilah lahir dari sebuah pemikiran yang mendalam dalam proses menciptakan suatu produk entah itu ilmu atau teknologi.
Bagaimana dengan Negara kita?

Dibawah ini kawan akan membaca sebuah paragraph yang mungkin agak kurang nyambung dengan alinea diatas. Saya cukup tergelitik, ada teman FB saya Nona Maria Pankratia memberikan komentar seperti ini
“Hahaha,,semakin banyak perbendaharaan kata semakin banyak orang yang BANYAK BICARA di negara tersebut. Baik atau buruknya tergantung Hasil dari Bentuk negara itu pada akhirnya??? wwkwkwkwkwkw..tuh saya jadi banyak bicara..”

Komentarnya sempat membuat pandangan mata saya kembali pada tanah yang saya injak, tanah yang berada dalam wilayah NKRI.

Menurut UUD 45 bentuk negara kita adalah republik dengan kedaulatan berada ditangan rakyat, yang diwakilkan kepada para wakilnya di senayan atau dengan kata lain Demokrasi Perwakilan. Akhir-akhir ini kinerja para pejabat senayan sering mendapat sorotan, termasuk "kasus" yang terbaru soal hedonis. Para politisi senayan menurut saya termasuk orang pintar karena memiliki perbendaharaan kata yang banyak sehingga mereka banyak bicara. Banyak membantah dan bersilat lidah. Korupsi sana sini putar balik kiri kanan dengan kalimat yang perbendaharaan katanya banyak. RUU yang dibuat kebanyakan menuai kontroversi salah satu yang teranyar UU Intelijen yang dianggap dapat menghambat pekerja pers dalam mengumpulkan informasi karena ada pelarangan membocorkan rahasia intelijen. --> bentuk negara republik menghasilkan orang yang banyak bicara yang buruk. lebih baik tidak usah republik berdaulat perwakilan saja karena percuma juga...toh selama ini wakil rakyat lebih banyak bekerja untuk kelompoknya. Apalagi mengingat para wakil rakyat kita ini hampir semuanya direkrut oleh partai dengan cara boarding pass sehingga kapasitas serta kredibilitasnya masih saya ragukan dan sudah terbukti dengan hasil kerja mereka yang gitu deh. Kawan pasti sudah melihat buktinya selama ini melalui media mengenai sepak terjang dan kerja mereka anggota dewan yang terhormat.
Paham Demokrasi juga melahirkan beberapa kaum yang berjuang mengangkat suara rakyat (katanya), yang hobi memanas-manasi rakyat, provokasi sana sini. Lalu bagaimana dengan kita kaum awam? Masyarakat Indonesia, apakah sudah benar-benar memanfaatkan kedaulatannya? Sepanjang pengamatan saya, masyarakat kita belum siap dengan demokrasi. Belum memiliki pengetahuan yang cukup, bangsa kita bukan bangsa pembelajar, bukan bangsa yang suka membaca buku entah itu yang bersifat edukasi atau sekedar hiburan. Diperkirakan pembaca di Indonesia jumlahnya tidak mencapai 2%, di negara maju jumlahnya mencapai 70%. Bangsa kita lebih suka nonton sinetron dan hura-hura tidak jelas. Akibatnya kita gampang dipolitisir dan diprovokasi oleh kelompok yang menyatakan bahwa kita harus menggoyangkan tahta seseorang yang telah menyalahgunakan hak berupa uang atau keputusan yang adalah kedaulatan kita. Dengan minimnya informasi dan pengetahuan pasti kita gampang terbakar alias terprovokasi, ini fatal. Karena kita tidak menyadari apakah hal tersebut adalah benar dan parahnya penggunaan hak istimewa kita tersebut dipolitisir oleh kelompok yang seperti pepatah ada udang di balik batu. Hahaha. Oleh karena itu mengapa demokrasi di negara kita masih segitu, mengapa masyarakat kita belum bisa bersikap lebih elegan dalam menyampaikan unek-uneknya, karena yang mereka kuasai adalah pendapat emosional daripada fakta dan data. Kapan mau maju? Jangan tanyakan dulu pada negara, tanyakan dulu pada diri kita sendiri. Kita yang memegang kendali negara ini, sang kusir harus memiliki kemampuan dan pengetahuan untuk mengontrol tali kekang.

Jadi kesimpulannya, memiliki perbendaharaan kata yang banyak adalah indikasi suatu negara maju. Di negara yang sedang berkembang seperti Indonesia yang menganut demokrasi perwakilan, orang-orang pintar dalam senayan yang memiliki perbendaharaan kata yang banyak sering menyalahgunakan hak yang telah diberikan rakyatnya. Dengan rendahnya minat baca atau mengikuti informasi membuat kita gampang diprovokasi oleh kepentingan beberapa kelompok (orang yang juga memiliki perbendaharaan kata banyak) yang mengakibatkan kita salah menggunakan hak istimewa tersebut. Jadi, kita sebagai individu harus mau menjadi pembelajar sepanjang hidup, agar perbendaharaan kata kita makin banyak, yang berarti kita memiliki pengetahuan akan sesuatu yang lebih buanyak, sehingga kita tidak gampang diprovokasi, mampu menggunakan hak pilih kita pada kandidat yang tepat, dan berbicara tidak asal. Sehingga kita individu-individu ini mampu membentuk suatu bangsa yang dengan cepat mengubah negara berkembang menjadi negara maju, karena waktu sangat berharga jika kita hanya berpolemik ria. Suatu pemikiran mempengaruhi pola perilaku. Stop menggunakan teori konspirasi, mari kita bernalar ria dengan data serta pengetahuan, focus pada hal yang substansial. Semua itu berawal dari pribadi kita masing-masing! Mari berubah!

Jikalau ada pendapat lain atau kritik, saya dengan sangat senang akan menerimanya. Terima kasih… :)

 

***Lin Gadi. Diambil dari http://lepobiket.blogspot.com/2011/11/sekedar-bertanya.html
Bagikan di Google Plus

About bisotisme.com

Salah satu admin di tim admin yang mengurus web ini.
    Komentar
    Komentar melalui Facebook

4 komentar:

  1. saia <- termasuk perbendaharaan kata (ciptaan sendiri) tapi jangan ditiru #eh :D

    BalasHapus
  2. Mas Gajah Pesing : hahaha bagi2 lah perbendaharaan katanya ke kita2 :D

    BalasHapus
  3. menarik sekali pemikirannya tapi betapa bodohnya saya, saya masih belum bisa melihat solusi praktis yang bisa langsung diterapkan ke kehidupan rakyat sehari-hari. Kebetulan seseorang bernama Moko pernah mengisi kuliah pada kelasku, kalau boleh saya simpulkan pemikiran beliau ialah agar mempunyai kosakata yang melimpah sejak kecil harus dibiasakan mendengarkan cerita dan bercerita. Intinya ialah pendidikan yang benar adalah sangat-sangat menjadi prioritas utama.

    BalasHapus
  4. Thanks for dropping by, Nacksomat ;) salam Flobamora. Btw iya, dengan mendengarkan cerita, membaca, kita jadi punya perbendaharaan kata yang luas :D

    BalasHapus