Yuk #SaveKotaTuaKupang

om Robby yang ramah

Catatan mini trip Blogger NTT dan IRGSC

Tanggal 1 Mei, tepat di hari Buruh International, Flobamora Community di Kupang bersama dengan kawan-kawan peneliti dari IRSGC berkunjung ke beberapa lokasi penting dan bersejarah di Kota Tua Kupang. Rencana awalnya sih akan pergi bersama kelompok jurnalis pelajar dari SMPK St. Theresia (Laura Kennenbudi, dkk), namun karena mereka mendadak gladi bersih untuk upacara hari pendidikan nasional esoknya, jadinya mereka batal ikutan. Spesialnya, kunjungan kami ke kota tua Kupang sekaligus untuk menemani teman dari Jepang, seorang peneliti dari Mitsubishi, Mr. Takuya. 

Kami sepakat berkumpul di Pantai Koepan, lokasi terdekat untuk menuju Klenteng Lay, the first site yang bakal kami kunjungi. ‘Peserta’mini  trip yang kami namai #SaveKotaTuaKupang ini adalah Nike Frans, Yadi Diaz, Inri Takesan, Takuya dan saya sendiri. Gerald Fori baru join sejam kemudian. Romo Patris, kak Inda Wohangara dan Ken Djami berhalangan hadir. Kami lantas menuju Klenteng Lay yang jaraknya sekitar 50 meter dari Pantai Koepan (saya lebih suka menggunakan “Pantai Koepan” yang lebih punya nilai sejarah ketimbang menggunakan nama “Pantai Teddys”. #Sikap).
Lokasi Klenteng Lay memang agak tertutup di belakang deretan pertokoan kota Kupang, diapit juga oleh aliran kali Dendeng/ kali jembatan Selam. Dibangun tahun 1865 oleh Lay Foetlin dan Lay Lanfi. Ini kali pertama saya ke Klenteng yang sebenarnya tidak digunakan lagi untuk sembahyang namun sebagai Rumah Abu, so kata ‘Klenteng’ sebenarnya tidak tepat lagi kita gunakan. Baiklah kita sebut saja Rumah Abu keluarga Lay. Tentang Rumah Abu ini, saya malah lebih tahu banyak dari kisah om Feri Latief (kontributor foto untuk National Geographic Traveler) dan kak Agni Amalagina, seorang peneliti dari Universitas Indonesia yang sedang menyusun disertasi tentang ‘Cina Timor’.Baca juga catatan perjalanan keduanya di sini.
Kami disambut hangat oleh om Robby Lay, sebagai salah satu keturunan Lay yang menjaga rumah abu ini. orangnya baik banget. Kami dipersilakan masuk untuk melihat-lihat interiornya. Kami tentu tak sabar sebab dari tampilan luarnya saja sudah sangat menggugah, karena kami semua tak menyangka jika dibalik padat (dan semrawutnya) kota Kupang, toh ada bangunan berarsitektur unik yang tenang tentram di pinggir sungai rob. 

nama-nama family member yang telah meninggal dunia
Om Robby Lay menjelaskan tentang sejarah singkat rumah ini yang telah mengalami renovasi dari dana swadaya keluarga Lay sendiri. Lalu apa makna rumah abu itu sendiri? Ia menjelaskan bahwa abu tidak selamanya berarti abu dari tubuh yang dikremasi. ‘Abu di sini juga termasuk abu hio atau kertas yang dibakar family member di mana-mana, lalu abunya dikirim dan di simpan di wadah itu,” ujarnya sambil menujuk ke wadah bening di bawah dinding merah bertuliskan nama-nama keluarga Lay yang telah meninggal dunia. Sayang sekali bahwa bangunan cagar budaya sekeren ini kurang mendapat dukungan moril dan materil dari pemerintah. Rumah abu  menyambung dengan rumah keluarga inti, rumah ini bisa terawat meski juga berbagi ruang dengan tali jemuran dan barang-barang yang biasa disimpan di gudang. Ketika hendak pulang, om Robby masih sempat menjelaskan kepada kami, mengapa di atas pintu rumah abu ada tiga patung binatang, burung merak yang diapit kepiting dan sejenis trenggiling. Kata beliau, itu representasi dari keluarga Lay. Saya ingat opa dari mama saya yang sering kami representasikan sebagai kalajengking (tentang mengapa demikian akan saya kasih tahu di tulisan yang lain ya... J). 

Terima kasih untuk keluarga Lay atas sambutannya yang ramah. 


***
Dari rumah abu Lay, kami menyebrang ke depannya, persis di samping terminal kota Kupang, yakni Gereja Kota Kupang. Ini gereja protestan pertama di Kota Kupang yang dibangun pada jaman Belanda dan sudah berusia ratusan tahun. Bangunan utamanya masih berdiri kokoh dengan tembok yang katanya masih asli. Hanya saja interior sudah mengalami banyak perubahan terutama altar dan dekorasi ruangan, kesan klasiknya hampir tidak saya temukan lagi jika dibandingkan gereja protestan ‘ngejaman’/ GPIB Marga Mulya di Jogjakarta, yang bentuk bangunannya hampir mirip, tapi tetap terjaga bentuk eksterior dan interiornya. Istilahnya, klasiknya masih dapet ;)
Di gereja ini kami disambut dengan hangat juga sama kepala sekuriti dan beberapa majelis gereja setempat. Ada yang unik di gereja ini, di halaman depan gereja terdapat 2 buah kuburan belanda, dan salah satunya tak bernama. Hingga kini kuburan tersebut masih menjadi misteri. Sedangkan kuburan sebelahnya, setelah diterjemahkan sejarawan NTT om Mateos Messakh, 

"Di sini beristirahat Willem Adriaan Van Este ...[kurang jelas]... Opperkopmanen -Opperhooft van Timor. Terlahir di Saparoea pada 17 Maret 1736 ..November....]. Nama Van Este ini sering muncul dalam sejarah Timor. Beta kira ada disebut di sana sini dalam tulisan Hans Hagerdal. Dalam struktur VOC Opperkopman (kepala pembeli) dan opperhooft itu kepala dari setiap pos VOC yang ada di Asia. apakah opperkopman atau opperhooft itu tergantung status/level post itu. Ini batukubur sangat bersejarah sebenarnya," jelas om Ato begitu sapaan akrabnya.

 Kami sempat di bawa ke ruang koncistori tempat dipasangnya foto-foto pendeta dari pendeta pertama yang masih orang Belanda hingga pendeta terkini. Menarik bahwa majelis gereja di sini paham betul dengan kisah sejarah gereja ini.
FYI, bulan November tahun ini akan ada perayaan besar di gereja ini, yakni 400 tahun misi protestan (zending) masuk ke Kupang. 

***
Dari Gereja Kota Kupang, kami langsung menuju ke pekuburan Belanda di daerah Nunbaun Delha. Dari tugu HAM atau jembatan timbang Selam, arahnya ke barat menuju pelabuhan Tenau. Pekuburan umum ini sangat tidak terurus, padahal sangat bersejarah sebab banyak sekali kuburan Belanda dari tahun 1891 hingga sebelum perang dunia II. Saya terkesan dengan bangunan nisan yang tinggi megah dengan struktur yang kokoh berbalut marmer berkualitas. Saya kok heran sama pemerintah kota Kupang. Padahal jika pekuburan ini dirawan baik, dengan view yang dekat dengan laut, wuiiih bisa menjadi lokasi bersejarah dan keren. Dan pastinya akan menjadi pemasukan juga buat pemkot. Ahh. 

Dari pekuburan tua ini, kami mampir sebentar di goa meriam, kira-kira 50 meter dari lokasi. Konon katanya di bawah goa-goa karang di pinggir pantai itu, pernah tersimpan meriam-meriam Jepang. Meski tak ada informasi jelas mengenai ini. Kami diantar oleh masyarakat setempat untuk sampai ke lokasi goa karang tersebut. Takuya, Nike, Gerald, Inri dan kak Yadi masih sempat meyarap menuruni batu karang dan empasan air laut untuk masuk ke goa karang.
Dari goa karang, kami menuju ke light house alias mercusuar pertama dan satu-satunya yang dibangun Belanda di Kupang, letaknya bersebelahan dengan pantai Koepan dan pangkalan TNI AU. Lagi-lagi bangunan bersejarah ini nampak tak terurus. Banyak kambing diikat dan membuang kotoran sembarangan juga rumput yang meninggi. Dekat mercusuar, ada semacam tanjung kecil dari batukarang yang biasanya dipakai masyarakat sekitar untuk duduk memancing. Seandainya tempat ini diurus dengan baik, akan jadi spot menarik untuk menikmati senja dan teluk Kupang. Ahh.
Setelah puas bereksplorasi dan duduk-duduk mengobrol, kami pun pulang, sebelum akhirnya memutuskan mampir untuk makan bakso di warung Ojo Lali, samping hotel Kelimutu (depan Katedral) yang enak itu. Recomended pokoknya!
Sekian cerita saya soal beberapa sudut Kota Kupang yang sayang kalau kemudian digusur dan lenyap tak terawat. Ayo dong Pemkot Kupang, lakukan sesuatu untuk situs-situs bersejarah di kota ini, atau membiarkan kita kehilangan identitas? Kota yang maju peradabannya adalah kota yang tetap melestarikan cagar-cagar alam dan budayanya. Salam #SaveKotaTuaKupang. Ini akan menjadi gerakan selanjutnya bagi Blogger Kupang untuk mengkampanyekan keunikan-keunikan kota tua Kupang. Kami hanya segelintir orang tetapi senang jika Anda juga mau bergabung bersama kami. Jika anda datang ke Kupang dan ingin ditemani jalan-jalan ke beberapa spot di atas? Kami siap menemani jika waktunya cocok. Saya ada di dickysenda@gmail.com ... salam.


salah satu nisar marmer bertuliskan Pauline Antoinette Tuinenberg

Takuya, Nike dan Inri bersantai di bawah mercusuar

pintu unik dan kuno di klenteng lay


salah satu sudut 'klasik' rumah abu lay

Lukisan kuda di salah satu sudut ruang rumah abu   
the beautiful roof

Christian Dicky Senda
Blogger, penikmat sastra, film dan kuliner. Menetap di Kupang. Blog www.naked-timor.blogspot.com, twitter @dickysenda

Bagikan di Google Plus

About Christian Senda

Salah satu admin di tim admin yang mengurus web ini.
    Komentar
    Komentar melalui Facebook

1 komentar: