Seorang Guru Luar Biasa Itu Bernama Asnat

“Dan seorang guru yang tetap bertahan 10 tahun mengajar dengan gaji rendah saya rasa bukan sembarang orang. Pastinya orang dengan mental, cinta dan semangat mengabdi yang luar biasa. Pastinya. Dialah Asnat.”

***


Kurang lebih dua bulan lalu, akun twitter @1000_guru menyampaikan informasi yang cukup mengagetkan saya. Menurut 100 Guru ada seorang guru di pedalaman Timor, tepatnya di Desa Telukh kecamatan Amanuban Timur, kabupaten TTS, bernama Ibu Asnat Bell yang sudah bekerja sebagai guru honorer mendapat gaji bulanan hanya Rp.50.000,-. Oya, 100 Guru sebenarnya adalah sebuah organisasi yang peduli pada dunia pendidikan terutama di daerah yang terpencil (bisa simak profil mereka di www.seribuguru.org).

Saat itu saya coba bertanya ke rekan saya Sandra Olivia Frans dan Josua Natanael di Forum Soe Peduli. Josua yang pernah menjadi aktivis LSM, kebetulan tahu betul lokasi Telukh, kondisi masyarakat dan rupanya juga mengenal sosok Ibu Asnat dan organisasi 1000 Guru. Bersama dengan kawan-kawan FSP, kami memang langsung berniat untuk berbuat sesuatu. Waktu itu saya sarankan agar kita sendiri kalau bisa mengecek langsung, bertemu dan mewawancarai ibu Asnat. Biar nantinya gerakan kita juga ada dasarnya karena kita sudah bertemu langsung.

Dari kesepakatan kawan-kawan FSP, dipilihah tanggal 21 Juli 2013 untuk melakukan aksi bakti sosial pengobatan gratis untuk masyarakat desa Telukh sekalian anjangsana ke rumah ibu Asnat. Secara swadaya, anggota FSP mengumpulkan dana sukarela untuk membeli obat-obatan. Pada tanggal 21 Juli, pergilah rombongan FSP, berdelapan menggunakan motor dari Soe menuju Amanuban Timur (Simak catatan perjalanan mereka di blognya Sandra Frans www.tulisan-sandra.blogspot.com). Di Telukh, Sandra, dkk diterima pak Pendeta Saneb Blegur dan warga setempat dengan sangat baik. Saat itu rombongan FSP terdiri dari 1 orang dokter, 2 orang perawat, 1 ahli gizi mulai melakukan pengobatan gratis kepada kurang lebih 150 warga Telukh. Pada kesempatan yang sama, kawan-kawan FSP yang hadir bertemu langsung dengan ibu Asnat Bell. Sandra mewakili FSP menyampaikan dukungan dan apresiasinya untuk ibu Asnat sembari menggali beberapa informasi dari beliau.

Kepada Sandra, dkk, ibu Asnat bercerita bahwa ia sudah mengajar satu dekade. Sehari mengajar sekitar 5 jam, selama 6 hari. (Artinya seminggu 30 jam, sebulan kurang lebih 120 jam). Selama itu ia mengajar hanya dibayar Rp. 50.000. Dan ia mengakui, per bulan Juli 2013 honornya naik menjadi Rp.100.000/ bulan. Sehari-hari Ibu Asnat mengajar di SD GMIT NUNUHENO, desa Telukh Kec. Amanuban Timur, TTS. Niatnya untuk menjadi PNS pun terhambat sebab tahun ini Kabupaten TTS tidak mendapat jatah pengangkatan guru honor menjadi PNS dari Depdagri.

Dalam blognya, Sandra menulis, “Di SD GMIT NUNUHENO ini terdapat satu kepala sekolah, dua guru PNS dan empat guru honor yang digaji lima puluh ribu sebulan. Namun ibu Asnat Bell adalah yang paling lama mengabdi.”

***


Di desa yang lainnya di Amarasi, Kabupaten Kupang, ada juga guru yang saya dengar mengajar di sekolah swasta tanpa menerima gaji. Ibu guru tersebut hanya diberi sebidang tanah untuk digarap sang ibu dan keluarganya untuk menyambung hidup. Kabarnya tanah itu pun diberikan oleh warga sekitar sekolah. Beberapa waktu lalu, guru tersebut kabarnya akan dibantu oleh sebuah kelompok solidaritas yang memberikan sedikit uang saku setiap bulannya. Karena apapun juga sang ibu tentunya membutuhkan uang untuk membelanjakan keperluan rumah tangganya. Syukurlah.

***


Setelah kawan-kawan FSP kembali dari Telukh dan membagi cerita, saya kira jalannya akan semakin baik. Ada banyak guru di pedalaman NTT yang bernasib sama seperti Asnat. Mengajar ratusan jam sebulan, mendapat upah kecil dan kondisi mereka adalah guru honorer, bukan PNS, bukan pula guru kontrak. Diam-diam saya pun khawatir, bahwa bisa jadi nasib ibu Asnat justru sebaliknya, menjadi lebih buruk dari semula. Sebab dalam pemikiran saya, ibu Asnat cuma seorang honorer yang punya posisi yang agak lemah nilai tawarnya. Entahlah. Saya tidak tahu persis perjanjian kerja di awal, dan apakah guru honor pun diakui dan mendapat perlakukan yang baik di dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga? Sebab kalau tidak, mereka akan mudah saja untuk didepak. Tapi bisa sebegitu mudahnyakah dipecat? Lagi-lagi kembali ke hati nurani masing-masing.

Kondisi seperti ini tentu membawa kita kepada refleksi yang panjang dan tiada habisnya, “kok bisa ya? Masih ada yah hal seperti ini di Indonesia? Bla...bla...bla...”. Pada saat menulis ini, saya menempatkan diri sebagai guru. Guru di NTT, guru swasta di kota Kupang, yang juga punya nasib tak tentu, kadang mengeluh, dan ketika melihat kondisi ibu Asnat, dan ibu guru di Amarasi tadi, saya membatin, “beginilah kondisinya...”. Untuk guru-guru berstatus PNS, sepertinya sudah lumayan lebih baik. Artinya sudah mendapat upah yang layak dan terstandar dari Pemerintah. Secara periodik dan pasti, akan naik golongan. Nah, biasanya yang memprihatikan adalah guru-guru honor dan guru swasta (yayasan). Kebanyakan di bawah UMR! Dan itu diam-diam dipraktekkan. Tanya kenapa, jawabannya kompleks. 

Dan seorang guru yang tetap bertahan 10 tahun mengajar dengan gaji rendah saya rasa bukan sembarang orang. Pastinya orang dengan mental, cinta dan semangat mengabdi yang luar biasa. Pastinya. Dialah Asnat. Dana sekian banyak Asnat-Asnat lainnya yang belum terdeteksi media. Mengabdi dalam sedih dan diam mereka.

***


Setelah kondisi ibu Asnat diangkat oleh akun @1000_guru dan @soepeduli, secara pasti berita ini kemudian menasional. Yah, situs jejaring sosial atau social media memiliki andil yang besar setelah kemudian masalah ini dibicarakan oleh banyak orang di dunia maya. Setelah mendapat kunjungan dan bantuan moril (dan sedikit materi) dari FSP, rupanya diketahui oleh Kepala Sekolah SD GMIT NUNUHENO, Pak BT. Kepsek ini kemudian memecat ibu Asnat dengan beberapa alasan. Informasi pemecatan ini diperoleh dari akun Facebook pak Pendeta Saneb Blegur. Di akun Facebook pak Saneb menulis, “Seorang guru honor di pedalaman TTS NTT yg telah mengabdi selama 10 tahun dan dihargai dengan Rp. 50.000 / bulan dipecat oleh kepala sekolah karena alasan menerima bantuan dari sekelompok pemerhati guru pedalaman”
Lebih lanjut pak Saneb menulis, “Alasannya kepsek merasa malu karena kondisi sekolahnya diketahui di dunia maya secara khusus perhatian terhadap guru honorer yang hanya dapat 50.000,- mungkin juga takut dana BOS yang ia kelola ditelusuri lebih jauh, faktor lain juga adalah kecemburuan dari teman guru honor lainnya...”

Dan informasi dari linimasa akun twitter @1000_guru yang menelpon langsung BT (Rabu pagi, 31 Juli 2013), diperoleh informasi bahwa alasan pemecatan karena BT selaku kepala sekolah tidak diberi tahu perihal ibu Asnat mendapat bantuan. BT mengatakan bahwa ibu Asnat telah ‘menjual’ nama sekolah hanya untuk mendapat bantuan dari pihak luar. Ketika ditanya lagi, kenapa harus dipecat, sang kepala sekolah langsung menutup dan menonaktifkan ponselnya.

Apa yang sebenarnya sedang terjadi. Begitu mudahnya seorang tenaga honorer yang mungkin saja bekerja tanpa adanya surat kontrak, sehingga dengan seenaknya dipecat? Bagaimana tanggapan Dinas PPO Kabupaten TTS? Bupati dan DPRD TTS? Kita tunggu saja. Teman-teman Organisasi Seribu Guru sedang berupaya untuk mengadukan permasalahan ini ke dinas PPO TTS.

Permasalahan ini semoga saja menjadi langkah awal bagi pemerintah kita untuk serius memperhatikan nasib guru honor maupun guru tetap di sekolah-sekolah swasta, sebab sama-sama mendidik anak bangsa, mengajar dengan kualitas sama, jumlah jam mengajar sama, namun mendapat upah yang berbeda. 

**********************************

Christian Dicky Senda. Blogger, penikmat sastra, film dan kuliner. Bergiat di komunitas sastra Dusun Flobamora, Komunitas Blogger NTT (Flobamora Community) dan Forum Soe Peduli. Bekerja sebagai konselor di SMPK St. Theresia Kupang.
Bagikan di Google Plus

About bisotisme.com

Salah satu admin di tim admin yang mengurus web ini.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Posting Komentar