Membangun Kota Kupang Dari Sampah


Christian Dicky Senda*
Motor Sampah. sumber gerlanmanu.wordpress.com

Sabtu, 31 Mei 2014, Komunitas Blogger NTT (Flobamora Community) diundang ke acara diskusi dan kopi darat Forum Academia NTT (FAN) bekerjasama dengan Jaringan Peneliti Kawasan Timur Indonesia (JiKTI) bertema “Membangun Kota Kupang Dari Sampah”, bertempat di OCD Cafe Lasiana. Hadir pada saat itu sebagai pemateri adalah kepala dinas kebersihan dan pertamanan kota Kupang, pak Ernest, Kepala Bank Sampah Imanuel (BSI) Kupang, Mas Ary Capri, dan om Ermi Ndoen sebagai Co-moderator FAN. Peserta yang hadir lumayan beragam, selain komunitas blogger, hadir juga teman-teman peneliti dari IRSGC (Nike Frans dan kak Yopie), kak Doddy dari Save The Children, perwakilan masyarakat Lasiana, PIKUL NTT, dan kawan-kawan pers dari Victory News dan Pos Kupang. Sebagai moderator malam itu om Dami Ola (Redaktur pelaksana harian Victory News).
Berbicara sampah di Kota Kupang memang tidak ada habisnya. Meski dinas terkait mengaku telah menggerakkan armada (truk sampah) sekitar 22 unit dengan jam operasional, namun tetap saja tumpukan sampah seolah tidak habis diangkut. Apa persoalan sesungguhnya?
Sebagai pembicara utama, mas Ary dari BSI mengisahkan kesuksesannya membangun bank sampah yang masih terbilang sesuatu yang baru di kota Kupang. Sebagai seorang akuntan, mas Ary punya sistem atau manajemen yang sangat baik. Hingga saat ini anggota BSI mencapai 140 orang dan telah menolong semua anggotanya secara ekonomi dari sampah (misalnya mampu membantu biaya pendidikan anak dari para anggota). Pemasukan BSI tiap bulannya tidak tanggung-tanggung, 300 juta rupiah! Hanya dengan memanfaatkan sampah. Penasaran dengan BSI? Bisa add akun Facebook pak Ary Capri dan like fanpage Bank Sampah Imanuel (BSI) Kupang.
Om Ermi Ndoen, Ph. D dari FAN mencoba menawarkan beberapa solusi berdasar pengalamannya kuliah dan menetap beberapa tahun di Brisbane Australia. Menurut om Ermi, berbicara sampah, maka perilaku manusia bisa digambarkan seperti piramida terbalik dengan 6 lapisan, dari lapisan paling atas yang paling lebar yakni avoid-reduce (the most preferable) hingga yang paling kerucut di bawahnya yakni dispose (the least preferable). Sedangkan re-use, recycle, recover dan treat masing-masing menyusul dari the most preferable hingga least preferable. Lalu bagaimana posisi kita selama ini? Reduce masih kurang populer, recycle pun demikian.
Ada beberapa solusi yang ditawarkan om Ermi. Penting dan utama adalah merubah paradigma masyarakat bahwa SAMPAH ITU BUKAN URUSAN DINAS KEBERSIHAN SAJA! Masyarakat juga harus punya tanggungjawab terhadap sampah yang mereka hasilkan. Ia mencontohkan jika di Brisbane, manajemen sampah rumah tangga telah diatur dengan sangat baik, profesional dan ketat. Setiap lingkungan perumahan telah punya jadwal sampahnya diambil mobil pengakut sampah. “Jadwalnya seminggu sekali, di tempat saya setiap hari Kamis pagi (jam 00-06). Untuk itu setiap rumah tangga sudah harus mengeluarkan kontainer sampah (yang sudah terpisah mana sampah basah, mana sampah kering) dan meletakkan di depan rumah pada hari Rabu malam sebelum jam 12.” Papar om Ermi. Lanjutnya, ‘Jika anda telat mengeluarkan kontainer sampah, maka anda baru boleh mengeluarkan lagi sampah itu hari Rabu minggu depannya lagi. Artinya ada punya stok sampah 2 minggu di rumah!”
Itu di Australia, di mana paradigma masyarakat sudah dirubah, bahwa sampah juga tangungjawab masyarakat. Lain Australia, lain Kupang. Di Kupang sebenarnya sudah ada aturan jam berapa sampah bisa diangkut oleh truk-truk dari Tempat Penampungan Sementara (TPS) yang sudah dibangun di banyak titik di pinggir jalan utama kota. Dengan harapan agar masyarakat pun bisa mengatur jam buang sampahnya, tidak setiap saat bisa buang sampah ke TPS. Namun begitulah paradigma masyarakat, bagi mereka kapan saja bisa buang sampah dan untuk selanjutnya biarlah urusan Dinas Kebersihan. Jangan heran jika kita bisa lihat sampah menumpuk –meluap setiap hari, setiap jam di TPS di tepi jalan, padahal setiap pagi sudah diangkut. Seolah tak ada habisnya. Pada kondisi ini, harusnya tawaran om Ermi di atas bisa diaplikasi. Artinya masyarakat harus dilatih dan dibiasakan untuk menampung dan ‘menahan’ sampah di rumahnya, sampai pada waktunya ada mobil pengakut sampah datang. Menampung dan ‘menahan’ sementara sampah di rumah, sebenarnya melatih kita untuk bijaksana terhadap produksi dan manajemen sampah. Ini belum soal bagaimana belajar memilah sampah organik dan anorganik, sampah basah (kulit buah, dll) dan sampah kering (kertas/plastik).
Nah bagaimana harusnya mental dan perspektif tadi dirubah?
Mari mulai dari pendidikan yang paling dasar dimulai dari rumah dan sekolah. Sebagai guru, saya pun melihat dan merasakan sendiri perilaku murid-murid saya di sekolah. Seketat-ketatnya aturan (juga hukuman) terkait buang sampah di sekolah, berapa lama sih siswa di sekolah? Kadang perilaku itu hanya berlaku kalau dipantau, diberi sanksi, belum menjadi kebiasaan baik yang alamiah terjadi. Misalnya kalau makan permen, bungkusnya bisa disimpan sementara di saku celana jika tak ada kotak sampah di sekitar. Sesimpel itu.
Bagaimana dengan perilaku hidup bersih di rumah? Ada berapa banyak kotak sampah di rumah? Bagaimana anak diberi kesadaran untuk menjaga kebersihan rumah? Seberapa sering anak dilibatkan untuk ikut membersihkan rumah, menyapu, mengepel, mencuci piring, membantu ortu buang sampah dari rumah ke TPS? Ataukah semua itu sudah dilakukan pembantu rumah tangga?
Sebagai penutup, pak Kadis Kebersihan memberikan pemaparan tentang kinerja mereka selama ini. Manajemen waktu pengangkutan sampah sudah diberlakukan supaya jumlah armada yang terbatas bisa mengakomodir seluruh TPS.  Masalah lagi-lagi soal perilaku membuat sampah dari masyarakat itu sendiri. Menurut pak Kadis, pernah anak buahnya menegur anak sekolah yang kedapatan membuang sampah sembarangan, apa respon siswa itu? “Itu kan om dong punya tugas to?” Jawaban senada juga didapatkan pak Kadis ketika menegur seorang ibu yang membuang sampah tidak pada waktunya.  Duh.
Pada akhir diskusi, ada tawaran dari beberapa kelompok anak muda di Kupang yang bersedia bekerjasama dengan Dinas Kebersihan Kota Kupang untuk bikin kegiatan-kegiatan kreatif yang isinya mengkampanyekan hidup bersih, manajemen sampah dan mungkin bisa mengajak BSI untuk bikin pelatihan pengelolaan sampah untuk bisa direcycle dan dijual.
Sampah memang harus menjadi tanggungjawab semua pihak. Dimulai dari rumah tangga masing-masing. Siap ko? Siaaap doooong ah! 


Christian Dicky Senda, ketua Komunitas Blogger NTT. Menetap di Kupang. www.naked-timor.blogspot.com
Bagikan di Google Plus

About Christian Senda

Salah satu admin di tim admin yang mengurus web ini.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Posting Komentar