Dari Tanah Interniran Bernama Ende

Di Dalam Bab Surat-Surat Islam dari Ende

Tahun 1933 Bung Karno beserta keluarga naik kapal Van Riebeck dari Surabaya menuju sebuah tanah interniran di tengah pulau Flores, daerah yang bernama Ende. Sebuah daerah terpencil yang di batasi oleh pegunungan dan lautan itulah yang menjadi pilihan Pemerintah Belanda untuk mengasingkan beliau. Berharap pemikiran beliau juga ikut terkungkung bersama raganya. Namun 1934-1938 pemikiran-pemikiran beliau tetap melesat.
Dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi oleh Ir.Sukarno djilid pertama yang merupakan peninggalan almarhum Opa saya terdapat bab Surat-Surat Islam Dari Endeh. *dengan edjaan jadul yang bikin njlimet*
Pada bab ini ada sekitar 12 surat yang ditulis oleh Bung Karno kepada TA Hassan, guru Persatuan Islam di Bandung.

Kenyataan bahwa berada di Ende tidak membuat hubungannya dengan orang luar (di pulau Jawa) terputus begitu saja. Ada banyak surat yang mengisahkan hidupnya dan hidup masyarakat Ende. Dalam surat-surat beliau lebih banyak menuliskan tentang pemikirannya akan Islam, Islam yang ‘hidup’. Keinginannya untuk memiliki bacaan yang berbau Islam terlihat dari surat-suratnya yang selalu membahas buku yang pernah, sedang dan ingin dia baca.

BK1Gambar diambil dari sini.


‘…begitulah keadaan saja di Endeh; mau menambah pengetahuan, tetapi kurang petundjuk. Pulang balik kepada buku-buku jang ada sahaja.’

Sebagaimana beliau yang mencintai buku, lalu diasingkan di tanah sunyi dimana kesibukannya hanya bercocoktanam, ngobrol dengan keluarga, dan membaca tentu saja beliau sangat kehausan akan bacaan baru dan bermutu. Ia menyurati koleganya untuk mengirimkan buku-buku, terlebih buku Islam. Tidak hanya dari penulis dalam negeri tapi dari luar negeri juga. Beliau begitu menginginkan kemajuan, tidak hanya untuk pemikirannya sendiri tapi pemikiran masyarakat Ende, khususnya masyarakat Muslim yang menurut beliau kekurangan bacaan bermutu. Ada pula surat yang isinya meminta potongan harga buku-buku Islam untuk teman-temannya penduduk Ende.

‘…mereka ingin batja buku-buku Persatuan Islam, tetapi karena malaise mereka minta pada saja medatangkan buku-buku itu dengan separph harga…’

Selama masa pengasingan beliau lebih banyak membaca buku-buku Islam. Pemikiran-pemikirannya tentang Islam ditularkan kepada teman-teman Ende meski dalam surat beliau terdapat kalimaa-kalimat kritikan keras yang mengungkapkan kurangnya pengetahuan dan kekolotan orang Ende.

Tidak semua tentang Islam, beliau juga kerap berdiskusi dengan Pastor-Pastor yang pada masa itu kebanyakan berasal dari misionaris Belanda. Bahkan dalam suratnya tertanggal 15 September 1935 beliau menaruh respect atas kerja misionaris yang menyebarkan ajaran agama Kristen di daratan Flores.

‘…kita banjak mencela missi,−tapi apakah jang kita kerdjakan bagi menjebarkan agama Islam dan meperkokoh Islam? Bahwa missi mengembangkan roomskatholicisme, itu adalah mereka punja hak, jang kita tidak boleh tjela dan gerutui.’

Korespondensi yang terkendala jadwal kapal Flores-Jawa tidak melunturkan semangat beliau untuk tetap menulis meski aktifitas surat menyuratnya terhenti sejenak saat Ibu mertuanya yang ikut serta ke Ende sakit dan meninggal dunia.

Surat-surat beliau yang mana menjadi saksi sejarah tentang pemikiran beliau dan kehidupan selama di Ende pun dimintai cetak oleh sahabat penanya itu.

‘…Tuan tanja, apakah tuan boleh mentjetak saja punja surat-surat kepada tuan itu? Sudah tentu boleh, tuan! Saja tidak berkeberatan apa-apa atas pentjetakan itu. dan malahan barangkali ada baiknja orang mengetahui surat-surat itu. Sebab di dalam surat-surat itu adalah saja teteskan sebagian dari saja punja batin, saja punya njawa, saja punja djiwa. Di dalam surat-surat itu adalah tergurat sebagian garis-perobahannja saja punja djiwa….’

Di Gedung Imaculata.

Beliau berkarya. Beliau seniman. Di tangannya lahir belasan naskah tonil. Bersama beberapa teman pribumi tonil dipentaskan di gedung Imaculata, gedung milik Pastoral. Karena kedekatan beliau dengan beberapa Pastor dan misionaris asal Belanda maka dipinjamkanlah gedung serbaguna milik gereja.

Selama diasingkan hampir lima tahun di Ende, Bung Karno menyalurkan bakat seninya dengan menyusun naskah drama sambil mengobarkan semangat perjuangan. Grup tonil yang terdiri dari sejumlah pengikutnya diberinama Klub Kelimutu. Salah satu naskah tonilnya yang terkenal di kalangan masyarakat Ende pada masa itu adalah Rahasia Kelimutu.
Selain membuat tonil, beliau juga menghabiskan waktu dengan melukis.

Di Bawah Pohon Sukun.

Semua orang tahu Pancasila. Tetapi tidak semua tahu di mana Bung Karno dulu merenungkan kalimat-kalimat sakti itu.

Di Ende, di bawah pohon sukun bercabang lima tempat Bung karno duduk merenung dan membacasambari menatap laut Sawu itulah Pancasila pertama kali tercetus di benak beliau. Dari keberagaman dan kerukunan antara Islam dan Kristen di Ende, kehidupan masyarakat Ende yang kompleks beliau memetik banyak hal. Dari keterasingan, kesunyiaan Ende itu juga beliau punya banyak waktu untuk merenung.

"Di Pulau Bunga yang sepi tak berkawan, aku telah menghabiskan berjam-jam lamanya merenung di bawah pohon kayu. Ketika itulah datang ilham yang diturunkan Tuhan mengenai lima dasar falsafah hidup yang sekarang dikenal dengan Pancasila. Aku tidak mengatakan aku menciptakan Pancasila. Apa yang kukerjakan hanyalah menggali tradisi kami jauh sampai ke dasarnya, dan keluarlah aku dengan lima butir mutiara yang indah." (Sukarno: An Autobiography, Cindy Adams, 1965)

Diambil dari blognya kk Fauwzya.
Bagikan di Google Plus

About bisotisme.com

Salah satu admin di tim admin yang mengurus web ini.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Posting Komentar