Diambil dari sini.
Saya berkesempatan mengikuti sebuah
seminar pada Rabu, 19 Juni lalu. Seminar yang diselenggarakan dalam
rangkaian kegiatan Pameran Alat Musik Tradisional Nusantara 2013 ini
dilangsungkan di tempat pameran tersebut digelar, di Museum Sri Baduga
Bandung.
Sekitar pukul sepuluh pagi, seminar dimulai. Pada sesi pertama, ada 3
(tiga) narasumber yang disiapkan untuk membahas tema ini: Endo Suanda,
Reiza D. Dienaputra dan Henry Spiller (lihat tautan profil mereka dalam
Keterangan di akhir tulisan).
Dalam paparannya, Endo Suanda menyampaikan
pemikiran dan pemahaman beliau berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya
yang sangat luas dalam musik etnik yang telah ia geluti sejak lama.
Presentasi yang penuh dengan paparan audio dan visual (video dan foto)
yang bukan saja memberi informasi namun sekaligus berinteraksi dengan
peserta seminar. Suanda menyampaikan, berdasarkan hasil pengamatannya,
sebuah alat musik dengan bentuk yang sama akan mengalami perlakuan dan
penikmatan yang berbeda-beda, berdasarkan kebutuhan pemilik kebudayaan
tempat alat musik tersebut berkembang. Beliau menambahkan, bahwa bukan
saja masyarakat Indonesia harus memiliki kemampuan memahami alat musik
tradisional berdasarkan konteks masing-masing suku bangsa, bangsa
Indonesia pun perlu untuk memberi pengakuan pada tiap-tiap alat musik
yang ada di Nusantara sebagai hasil dari kecerdasan masyarakat setempat
(local genius), bukan kebijaksanaan masyarakat setempat (local wisdom)
seperti yang selama ini terjadi.
Pembicara kedua, Reiza Dienaputra, dalam
presentasinya memaparkan kesulitan memberi bingkai sejarah pada alat
musik tradisional Nusantara. Kesulitan ini terutama terjadi karena
minimnya informasi yang valid dan sesuai dengan kaidah keilmuan (ilmu
sejarah) agar dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah.
Beliau juga pada kesempatan tersebut mengajak para peserta seminar untuk
mulai melakukan dokumentasi alat musik tradisional dengan memberi label
sejarah pada hasil dokumentasi berupa identitas perekam, tanggal dan
lokasi perekaman, dsb.
Diambil dari blog Adhy Langgar.
Foto diambil dari sini.
0 komentar:
Posting Komentar