Sebuah Catatan 5 Tahun Flobamora
Community
***
Saya
selalu ingat bahwa tahun 2013 adalah tahun keberuntungan saya. Ah, entahlah.
Intinya tahun itu saya punya banyak sekali berkah. Dan saya percaya bahwa
selalu ada terang yang datang setelah kita membuat sebuah langkah kecil yang
baik. Termasuk
kepercayaan kalian yang kalian taruh di atas pundak saya sebagai ketua
Flobamora Community ke-3. Terima kasih.
Seorang
teman baik saya protes, katanya, “ih kamu, setiap kali saya memasukan kata
‘Timor’, “Kupang’ atau ‘Mollo’ di google, pasti yang keluar duluan adalah
tulisan-tulisan dari blogmu!” Ia tentu saja bercanda. Saya tersenyum dan tidak
menjawab apa-apa. Tapi betulkah?
Tahun
2006 saya pertama kali ngeblog dan keranjingan ngeblog. Apalagi setelah saya
ketemu saudara-saudara sebangsa dan setanah air—para bloggerian, khususnya dari
NTT. Semacam ada ikatan batin dan semangat solidaritas yang diam-diam menyertai
kami. Bahkan ada diantara kami yang belum pernah ketemu di dunia nyata, tapi
toh ya dekatnya sudah kayak berteman dari masa kecil. Ya sudah nikmati saya.
Saya menyukai anugerah macam ini, ya Tuhan.
Saya
sejak awal menulis blog memang punya satu niat sederhana, ya sederhana saja:
ingin menulis lebih banyak informasi–tentunya informasi baik—tentang daerah
saya, tanah kelahiran saya, kampung halaman saya. Internet memudahkan itu.
Internet membuat segalanya dekat padahal aslinya jauh. Hanya itu. So, saya
tulis dan bagikan saja apapun yang saya tahu, saya dengar, saya lihat, saya
foto, saya baca... sesederhana itu, kawan. Senang saja jika akhirnya semua itu
dibaca, dikomentari bahkan jika kemudian ada efek lebih, misalnya membuat orang
tertarik untuk melihat langsung kampung saya, itu bonus yang tak terkira. Saya
kira blogger adalah agen perubahan. Dan kawan-kawan blogger NTT telah melakukan
banyak hal seperti itu, selama ini...
Akhir
tahun 2013 tiba-tiba saya ditelepon seorang perempuan yang dari logatnya saja
saya langsung memastikan dia orang Jawa, orang Jakarta, warga ibu kota. Ranti,
begitu ia memperkenalkan namanya. Dan hingga komunikasi ketiga kalinya saya
masih ‘konsisten’ menganggap namanya Ratri. Duh, telinga saya memang
bermasalah. Hihihi. Ranti memperkenalkan diri sebagai seorang reporter program
budaya di sebuah stasiun TV swasta baru dan ingin mengajak saya untuk menjadi
bagian dari program bernama Indonesia Bagus itu. Nama stasiun televisinya NET.
Saya iyakan saja. Saya kira ini pengalaman baru dan sekali datang dalam hidup
(syukur-syukur ada dua tiga kali kesempatan setelahnya). Jadi intinya Ranti
mendapat nomor kontak saya di blog saya www.naked-timor.blogspot. Saya memang sengaja meninggalkan nomor hape
di blog karena saya juga sedang menggarap proyek penerbitan buku saya Kanuku
Leon dengan sistem crowd-funding kala itu (setahun lalu). Komunikasi kami
berjalan baik. Ranti mengirim saya transkrip naskah syuting, dan kami mengobrol
banyak tentang kampung halaman saya di Mollo, yang akan dipakai sebagai setting
acara Indonesia Bagus itu. Saya diminta berperan sebagai diri saya sendiri,
tokoh lokal yang sedang melakukan perjalanan pulang kampung dan saya ingin
memperkenalkan kepada dunia luar bahwa Indoensia itu Bagus, sebagaimana daerah-daerah
yang ada di dalamnya, seperti Timor, Mollo, dan khususnya kampung Fatumnasi (18
km dari rumah saya di Kapan, Mollo Utara).
Singkat
cerita akhir tahun lalu tepat di hari ulang tahun saya yang ke... (hihi saya
sudah tua!) saya, Ranti, dan Robby (saudara saya, kameramen keren dari NET.)
pergi ke Fatumnasi. Mereka ini keluarga baru saya! Yeaahh... jadilah video
dokumenter ini, yang sudah tayang di NET. Sabtu, 25 Januari 2013. Kamu bisa
nonton di Youtube sini.
The Revolutionary Road
Setibanya
di Fatumnasi kami langsung menuju ke pasar. Pasar diadakan seminggu sekali,
yakni pada hari Senin. Ramai sekali. Ranti dan Robby bersiap syuting. Kamera
yang mereka bawa memang keren dan canggih, dan buktinya memang bisa kita lihat
di video dokumenternya. Luar biasa jernih.
Ini
pertama kalinya saya melihat langsung bagaimana sebuah kameramen bekerja secara
profesional. Robby sosok yang luar biasa. Ia mampu menangkap setiap momen
dengan baik. Ia terlalu paham (--amat sangat paham) dengan sudut pandang. Saya
mulai beraksi. Hihihi. Sekali dua kali kami harus take ulang adegan sejenis dari beberapa sudut. Menyenangkan. Saya
dapat ilmu baru bagaimana merekam sebuah momen dengan kamera. Dan ingin
mengaplikasikannya bersama anak murid saya di Speqsanthers.
Selesai
adegan pasar kami lantas menuju ke rumah ba’i Mateos Anin. Sosok yang sangat
bersahaja, menurut saya. Betapa tidak bersahaja, sebab ia mengetahui sejarah
lengkap tentang Mollo, tentang Fatumnasi. Ia tahu betul tentang tata cara
hidup, atau spesialnya bagaimana seorang Mollo dari lahir hingga meninggal
dunia, proses-proses adat macam apa yang harus dilakoninya.
Saya
datang ke Fatumnasi sebagai seorang anak muda Mollo, yang galau karena semakin
sedikit referensi sejarah dan budaya Mollo yang diketahui oleh generasi muda.
Dan disaat yang sama para tetua adat dan mafefa—kaum penutur bahasa
adat---telah berkurang jumlahnya. Saya kira harus ada sebuah gerakan baru dari
anak-anak muda Mollo, TTS, dan Timor untuk kembali ke akar, pulang kampung dan
mencari tahu tentang asal usulnya. Cukuplah begitu dan sesederhana itu.
Sehingga kelak, anak cucu kita pun masih tahu kisahnya.
Akhir
tahun lalu saya menerbitkan sebuah buku berjudul Kanuku Leon, yang sebagian
besarnya saya tulis berdasarkan inspirasi yang lahir ketika saya dan orang tua
saya kerap mengobrol tentang sejarah lampau kampung saya, tentang kebudayaan
dan sililah keluarga. Kebetulan saya sejak SMA saya telah tertarik membaca dan
menulis karya fiksi. Saya menyukai sastra. Mungkin salah satu cara yang bisa
saya pakai agar saya dan orang Mollo—atau Timor bangga pada tanahnya adalah
lewat puisi dan cerpen yang saya tulis. Teman saya yang lain, mungkin dokter,
polisis, bankir, perawat, pendeta, mungkin punya cara lain untuk mengaktifkan
kisah-kisah lokalitas itu. Kita hanya punya tanggungjawab yang sama untuk
melestarikan itu.
Bertemu The Real Mafefa!
Di
Fatumnasi saya beruntung bertemu the real mafefa, Mateos Anin. Ia tentu masih
aktif menjalani ritual adat, membahasakan sebuah ritus dengan puitis sekaligus
dengan jampi-jampi yang bertenaga dan mempunyai daya rasuk. Ia masih setia pada
jalan kebudayaan yang diwariskan leluhurnya; menjaga dan merawat hutan, batu,
tanah, dan segala tradisi di sekelilingnya. Ia kini berusia 70an tahun. Katanya
kepada saya, “beta akan umur panjang! Hidup hingga seratus tahun lebih!”
Entah
apa maksudnya. Tetapi alam semesta dan sang pemilik tentu punya kuasa untuk
mengatur, bahkan mempersilahkan umus seseorang seperti Mateos untuk berumur
panjang, mengingat tugas mahamulia yang ia lakoni seumur hidupnya.
Ia
tentu tidak sedang beraksi untuk menipu. Ia hidup dengan bijaksana dan selaras
dengan alam semesta. Ia dan kelimpoknya bukan sejenis manusia rakus dan egois
yang rela merusa segala hal di sekelilingnya untuk menyenangkan diri sendiri.
Tentu saja tidak. Contoh kecilnya, Ia makan dari alam yang memberi kelimpahan
tanpa lewat pupuk kimia! Ada sejuta proses kehidupan mereka yang sederhana,
selaras dan membahagiakan. Lantas apa beliau harus ragu bahwa ia tidak akan
bisa berumur panjang?
Saya
telah menemukan mafefa yang nyata dan hidup!
Aku
akan hidup seratus tahun lagi! Bahkan seribu tahun, karena alam dan budaya ini
membutuhkanku untuk menjaganya...
***
Ini
adalah kisah perjalanan riset saya yang pertama untuk menulis buku (yang
sebenarnya masih saya rahasiakan). Proyeknya saya namakan #ZuidMiddenTimor,
saya rancang dan berencana melakukannya dengan beberapa penulis TTS. Jika Tuhan
mengijinkan, April 2014 saya akan ke Fatumnasi (lagi) dan Mutis. Lalu ke
Fatukopa, Sunu, dan Boti. Suara hati saya berkata bahwa ada banyak hal menarik
di tempat-tempat itu. Dalam draft riset saya, memang sisi mistisime TTS yang
ingin saya angkat.
Dicky Senda
0 komentar:
Posting Komentar