Diambil dari blog Christian Dicky Senda.
Gambar diambil dari sini.
Adalah kota tempat jiwa mekar, besar. Bermegah karena talentanya diasah oleh segenap semesta kota.
Adalah Kapan, kota kecamatan kecil di ketinggian 1100 mdpl di utara Timor Tengah Selatan. Kota yang dimaknai sudut mata bocah sebelas tahun sebagai kota hujan, kota kabut. Kota yang berhasil mengawinkan bulir-bulir embun dengan milyaran zat klorofil yang bergantungan di dahan-dahan segala penjuru ibu gunung. Jadi keindahan, bermahkotakan bianglala yang turun minum kala matahari dan hujan dan awan menjadi satu darah dalam lukisan lansekap lembah dan bukit-bukit marmer tua. Adalah Kapan, kota kecil yang tanahnya setia mengandung-melahirkan umbian dari berbagai jenis bebunggaan demi eloknya musim berganti. Adalah Kapan, kota tempat teriakan pertamanya menggelegar- memecah bulir-bulir embun Mollo, lantas tanah humusnya menerima darah dan ari-arinya dibenam doa. Kata-kata, yang belasan tahun kemudian kembali mengikat simpul-simpul imaji atau gambar mental, jadi puisi lirih tentang betapa cintanya begitu tulus pada semesta Kapan. Pada kabut yang pertama kali merangsang kelima indranya memaknai agungnya Dia.
Adalah Kapan, kota kecil yang dirindukan masa Natalnya, Paskahnya, Tujuh Belas Agustusannya. Merindukan setiap aliran yang sama, meski dalam pipa-pipa yang berbeda.
Adalah Kapan, kota yang sepenuh hidupnya dikenang karena setiap ruas jalan dan persimpangannya adalah saudara, meski berbeda arah. Dikenang karena masing-masing nama menandakan identitasnya sendiri-sendiri, namun ruh yang keluar dari mulut dan hati adalah satu, karena kita menghirupi satu kesatuan udara, karena darah kita mengandung oksigen yang sama, makanya aku ada di hatimu, kamu ada dalam denyutku. Kota menjadikan kami saudara.
***
Adalah kota, tempat mata remajanya terbelalak melihat keajaiban dunia. Larut dalam kagum dan hati murninya mulai tergesek kefanaan dunia, kafilah cinta-persahabatan atau Kekafiran fikiran karena yang dianggapnya ada yang janggan dengan Dia. Tapi di kota itu pula, talentanya pat gulipat berkali-kali lipat besarnya. Adalah kota, yang pada akhirnya benar menjadikan kepompong muda berglut dengan dunia kecilnya, hingga saatnya nanti, yang tertekunlah yang punya sayap terindah.
Adalah Ende, kota pahlawan, kota pelajar. Kota yang pernah menjadi saksi bagi Soekarno yang bersepeda jauh untuk mandi di kali lantas diam-diam membakar gelora kota dengan tonil-tonilnya. Meski kini baunya pun tak semerbak dulu. Cuma sisa debu pengap yang meruap dari sudut rumah yang mengelupas sana-sini.
Kapal tua yang baunya bikin mual telah merapat di dermaga kota pagi buta sekali. Kerlip lampu kota, puncak gunung aneh (seperti meja dan hantu berpenutup kepala) dan riuhnya manusia berlogat ‘aneh’ menyeruak masuk tanpa ampun ke dalam kotak-kotak memori yang kedinginan karena semalaman membelah laut Sawu.
“tolong antarkan kami ke jalan Sam Ratulangi..” pinta ayah pada kenek angkot yang tadinya merampas tas kami. Di pelabuhan tua kami merapat, sepelemparan batu dari pohon sukun tempat Sukarno mengirimkan lamunannya tentang pancasila kepada langi sore. Mega, kecintaanya. Sejenak pikiran remajanya memuai, seolah ingin larut agar mampu mendeskripskan arti dari bau tanah kota ini yang pertama kali dihirup hidung bangirnya.
***
Adalah Ende, kota ketil di tengah pulau Flores, yang juga masyur karena lebih dar setengah abad yang lalu, misionaris Eropa dengan buli-buli semangatnya mendirikan sekolah menengah utama terbaik yang selalu mengisi laju perkembangan sumber daya manusianya di setiap dekade. Syuradikara, dari bahasa Sansekerta, pencipta pahlawan utama, mereka menyiarkan kebaikan itu ke pelosok-pelosok negeri. Juga ke telinga dan hati mudanya. Maka jadilah ia bagian dari komunitas lux ex scientia, cahaya bagi ilmu pengetahuan.
Setiap kota punya caranya sendiri-sendiri dalam membangun karakter setiap penduduknya. Juga kota Ende, bagi jiwanya. Meski pertautan hati itu hanya tiga tahun saja, namun prosesnya memikat makanya tertanam ia dalam setiap lembar memori. Menunggu untuk dipanggil, dan ia akan berbunga karena gembira. Karena nama itu pernah menjadikannya kepompong lapis kedua untuk menjadi kupu-kupu terbaik di lapisan kedua. Karena setiap cerita hidup punya episodenya masing-masing, semakin berlapis, semakin kayalah dia. Jangan pernah mengukurnya dengan materi.
Adalah kota Ende, tempat Syuradikara berdir kokoh. Jalan Kenangan yang menyambut setiap kepolosan dan melepas setiap bibit terbaiknya pergi. Naungan hijau, bukan sekedar halaman dalam sekolah yang hijau indah, tapi pepohonannya menyimpan banyak cerita tentang mimpi dan cinta yang berlalu dibawahnya. Ia punya tentangga bernama Kapela Satu Mikhael, jantungnya Syuradikara, yang selalu bikin hati anak-anaknya berdebar karena setiap alunan pujian di dalamnya menggetarkan lapis-lapis naluri. Vesper, English Mass Service dan berbab-bab cerita tentang gelora pertentangan hati anak-anak muda dengan mutlaknya kekusyukan berlitani. Disebelahnya, asrama putra Syuradikara selalu tak asal-asalan menghias indahnya kota. Ada banyak pelajaran disana, yang akan bermuara pada kejujuran, keikhlasan, keberanian, rendah hati, kesetiakawanan, daya juang, tanggungjawab, dan berlapis-lapis jujur—ikhlas-sabar-setia-semangat bergantian menempa jiwa. Mereka punya cerita tentang susahnya mandi, bertelanjang bulat dari kamar ke kamar, plonco yang menggoncang mental. Atau riuhnya kamar makan yang lebih mirip pasar. Cerita tentang kabel kopleng bapak asrama, pengalaman pertama ciuman di ruang kelas bisu, atau pertama kali lompat pagar belakang dengan sukses. Sebagaian dari mereka juga adalah penongkrong sejati di bawah pohon mangga.
Adalah kota yang bertahun –tahun pasca kepergianmu pun, memori tentangnya masih terasa hangat. Mengingatnya adalah menginingkan untuk pulang padanya. Sedangkan melupakannya adalah sia-sia karena ia ditulis dengan tinta emas, di lembar-lembar memori terbaik.
***
Adalah kota yang tak kikir menyuplai pengetahuan baru ke otakmu. Kota yang kala melihatnya sama mampunya ia menjerat seluruh inderamu aktif untuk mencernanya, memikirkannya, menyerapnya dan mencintainya lebih dan lebih.Adalah Jogjakarta, kota budaya, kota berkumpulnya orang muda lintas daerah, lintas benua. Kota yang setiap kedipannya adalah inspirasi.
Ia datang sebagai sang pencari, dengan sel-sel otak berderang dan lapar. Ia haus dan menyedot apapun yang dianggapnya baik, karena jiwanya sejati dan kuat. Ia haus tapi tak sembrono memilih air. Ia lapar tapi tak juga gampang terjerumus. Mungkin karena energi terbesarnya disumbangkan oleh derasan doa yang kirimkan- memantul dari sudut ke sudut pergerakannya. Ke setiap ruas tempat ia mencari dan tak sedikitpun ia bimbang. Ia selalu sadar kekuatannya karena semangat kakak-kakaknya. Cinta ayah ibunya. Dan karena kota ini, ia mencintai mereka tanpa letih.
Di kamarnya, kotak biru 3 kali 4 meter, ia tidur, makan, menonton film, membaca, menulis, berdoa, meditasi, mengobrol dan pacaran. Dilarang merokok, begitu tulisannya yang terpampang di bawah salib kecil yang berbeban daun-daun palem kering. Ia suka menulis puisi, cerpen, argument ngawurnya tentang politik, seni, budaya atau ekonomi. Biar isi kepalanya puas. Dan di dunia maya (dan nyata), ia adalah blogger, (belum) sastrawan atau penyair. Bebannya berat., katanya. Tapi menulis sastra adalah cintanya.
Adalah Jogjakarta, kota yang membuka matanya lebih lebar, otaknya lebih luas, tentang bagaimana dirinya harus bersikap terhadap setiap peristiwa hidupnya. Respek bagi sesame adalah keharusan, tapi menafikan suara hati adalah kecerobohan terfatal dari seorang anak manusia. Setiap kota punya kesannya sendiri-sendiri bagi setiap dinding hati anak manusia. Berbicara kesan dari sebuah kota adalah berbicara tentang manusianya, alamnya, budayanya, bahasanya, bangunan fisiknya, lansekapnya, cuacanya, apapun yang kelihatan dan tidak kelihatan, sebagai kesatuan dari alam semesta ini, yang punya andil dalam membangun karaktermu, jiwamu, ragamu. Maka, nikmatilah setiap kota yang kau singgahi dalam ziarah hidupmu. Percayalah bahwa semua yang disediakan kota bagimu adalah anugerahNya, adalah makanan, atau pemicu atau obat bagi jiwa ragamu. Biarkan karena kota yang kau lihat berkelindan dengan imajimu, gambar mentalmu, rasiomu, nalurimu, ragamu.
Biarkan semuanya menjadi satu dalam tubuhmu. Kotamu. Memorimu.
Taubneno- SoE, 18 November 2011
Christian Dicky Senda
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
kata-katanya dalam euy, tetap berjuang :)
BalasHapusDicky memang superb :D
BalasHapusMantappP!
BalasHapusterima kasih kak Tuteh, om Bisot, kae Baziz....
BalasHapus