Tempat saya tinggal bukanlah kawasan elit atau perumahan dengan tipe bangunan megah dan pagar tinggi. Warga setempat sebagian besar bermata pencaharian sebagai nelayan dan petani, sebagian kecil sebagai wiraswata, tukang ojek, tukang batu dan buruh kasar. Dari segi penghasilan kita tentu tahu pemasukan tidak menentu, misalnya nelayan, pada musim angin dengan gelombang pasang tentu nelayan lebih memilih untuk sementara tidak turun melaut dan tentu saja berpengaruh pada pendapatan.
Selain permasahan pendapatan, rata-rata satu keluarga memiliki anak lebih dari 2 orang. Bukan menjadi masalah besar jika keluarga itu mampu. Namun pada kenyataannya banyak anak yang terpaksa putus sekolah, atau sekolahnya mentok di jenjang Sekolah Menengah. Bahkan ada yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar harus terpaksa membanting tulang membantu orang tuanya di laut atau berjualan di pasar. Sangat ironis sekali. Tapi inilah kenyataan hidup. Ini bukan di sinetron atau kejadian di kolong jembatan di kota besar sana, tapi di sekitar saya.
Saya disini akan mengungkapkan sedikit tentang kehidupan di daerah seitar saya bermukim, khususnya tentang kehidupan remaja sebaya saya. Hampir seluruh teman sebaya saya melek huruf. Mereka disekolahkan, namun banyak yang sebatas SD atau SMP saja. Sebagian besar berhenti melanjutkan pendidikan saat lulus SMA. Tapi bukan berarti tidak ada yang melanjutkan pendidikan hingga ke jenjang Perguruan Tinggi. Ada namun prsentasenya kecil. Bukan berarti mereka tidak mampu karena keterbatasan daya tangkap mereka akan pelajaran, salah satu anak yang tidak melanjutkan pendidikan yang juga adalah tetangga saya adalah wakil Kabupaten Ende dalam Olimpiade MIPA. Dan sekarang memilih menjadi nelayan, membantu bapaknya yang juga adalah seorang nelayan.
Tentang kehidupan remaja putri yang sudah menuntaskan wajib belajar 9 tahun atau pun tamat Sekolah Menengah, maka para orangtua mereka akan mengirim mereka bekerja di luar negeri. Sahabat masa kecil saya dan juga tetangga dekat setelah tamat SMP sudah dikirimuntuk menjadi TKW ke luar negeri.
Dengan berbekal sejumlah uang yang harus dibayarkan ke PJTKI mereka berangkat. Sebelum diberangkatkan mereka masih harus dilatih bahasa Arab dasar dan keterampilan seputar mengurusi pekerjaan rumah tangga di penampungan PJTKI.
Beberapa teman kecil saya berangkat kesana, saat menamatkan pendidikan SMP dan SMA. Mereka akan menelpon saat ada waktu libur. Dulu saat handphone masih merupakan barang mewah, mereka akan menelpon melaui telpon rumah saya untuk berbicara dengan keluarga mereka. Yah, kami akan memanggil salah satu anggota keluarganya. Sekarang begitu handphone menjadi hal wajib yang dimiliki oleh semua orang, mereka tidak pernah lagi mengontak lewat telepon rumah.
Beberapa orang yang saya kenal mengaku punya majikan yang baik, mereka diajak untuk berlibur ke luar negeri, ke London misalnya. Mereka diajak ke pesta. Diajak ikut ibadah Haji atau Umrah. Diberikan cuti untuk pulang.
Bahkan tetangga saya yang maaf, dulunya SD saja tidak tamat, sekarang punya account jejaring social, punya laptop sendiri yang biasa ia gunakan untuk online saat waktu senggang. Ia bahkan lancar berbahasa Inggris. Chatting dalam jejaring social menggunakan bahasa Inggris. Maklum nyonya rumahnya bukan orang Jazirah, tapi Amerika Latin yang menikah dengan orang sana. Ia bahkan dianggap anak. Saat ulangtahun diberikan bermacam-macam hadiah.
Tapi tentang yang bermasalah juga banyak, yah, saya rasa berita di tivi sudah cukup menjelaskan bagaimana resiko jika mendapat majikan jahat.
Syukurlah teman-teman saya termasuk dalam mereka yang beruntung karena jauh dari masalah seperti itu. Meskipun pernah ada tetangga yang dipulangkan karena urusan kelengkapan, sempat tinggal berbulan-bulan di bawah kolong jalan layang Saudi bersama TKI lainnya sebelum dijemput oleh pihak Indonesia.
Sejauh apa yang saya amati setelah kepulangan teman-teman saya ke tanah air adalah badan mereka yang tampak lebih kurus dari sebelumnya. Mungkin karena beban kerja mereka yang berat. Seorang teman pernah bercerita kepada saya bahwa hari pertama bekerja ia pingsan karena saking lelahnya. Saat masih awal bekerja masih butuh adaptasi terhadap cuaca, adaptasi terhadap adat istiadat, pola makan, watak dan perilaku, mereka dituntut untuk bekerja dari awal buka mata hingga jam menutup mata tiba. Mengasuh anak dan mengurusi pekerjaan rumah tangga, dengan perbedaan bahasa itu tidak mudah. Bisa saja majikan menyuruh mengambil sapu kita malah mengambil baju. Butuh kesabaran. Jika tidak ingin timbul penyiksaan seperti di berita-berita itu.
Jika majikan baik gaji yang dibayar tidak tersendat, maka mereka akan rutin mengirimkan uang kepada orangtua mereka. Biasanya yang utama dan pertama adakah untuk biaya hidup sehari-hari, biaya sekolah adik-adik mereka, membeli tanah, membangun rumah, dan membeli perabot. Oh iya, tidak lupa membayar dana pinjaman dari PJTKI yang memberangkatkan mereka, dari pusat hingga cabang di daerah sini.
Fenomena yang saya lihat adalah membangun rumah. Hampir semua yang anak gadisnya bekerja sebagai TKW bertahun-tahun mempunyai rumah tembok besar dan bagus. Saya ingin sekali mereka berpikirntuk menabung dan saat pulang ke tanah air bisa melanjutkan pendidikan mereka. Karena saya pikir tidak selamanya mereka akan bisa bekerja sebagai pembantu rumahtangga di negeri orang. Mereka suatu saat juga akan berumahtangga, punya suami dan punya anak.
Saya merasa kasihan sekali saat melihat beberapa ibu muda yang terpaksa jadi TKW sementara suaminya nganggur dan menjadi pengasuh anak di rumah. Kebutuhan ASI anak yang tidak terpenuhi, kasih saying seorang ibu yang hilang, kebersihan makan minum anak, kebutuhan imunisasi, pendidikan usia bayi, balita dan toddler yang merupakan masa keemasan pertumbuhan tidak diperhatikan dengan baik. Walau bagaimanapun cara seorang bapak mengurusi anak dan rumahtangga tetap tidaklah sama. Seorang wanita secara naluriah lebih peka dan telaten dalam mengurusi segala hal di rumah.
Belum lagi masalah ini, yang paling saya sayangkan, perselingkuhan! Begitu istri meninggalkan rumah untuk jadi tulang punggung keluarga di negeri orang. Suami malah mencari jajanan lain. Pernah saya mendengar cerita bahwa ada seorang TKW yang sudah pergi lumayan lama dan jarang menghubungi keluarganya di tanah air, begitu pulang malah mendapati suaminya tengah melangsungkan akad nikah, lantaran selingkuhannya sudah mengandung.
Bahkan ada suami dari orang yang saya kenal juga pernah saya lihat bersama wanita lain. Kasihan sekali. Bahkan hidup sehari-hari dari uang istri tapi mereka tidak punya hati sampai berbuat seperti itu.
Resiko yang harus mereka terima. Bekerja jauh dari keluarga. Bermodal tenaga dan semangat mengumpulkan rupiah demi anak, mengatasi semua masalah demi mengangkat taraf hidup kea rah yang lebih baik. Terpaksa harus ke luar negeri dengan iming-iming gaji besar, lantaran di negeri sendiri lapangan kerja yang begitu sempit bagi mereka yang tidak berpendidikan dan tenaga ahli. Pemerintah, take note!
God! Inilah sedikit cerita tentang wanita yang menjadi pahlawan devisa dari sekitar saya.
Sedikit yang ada di pikiran saya sebagai sesama wanita.
***Fauwzya Dean.
Home / Blog /
ENDE /
NTT /
pahlawan devisa /
pjtki /
tki /
tkw
/ Cerita Para Pahlawan Devisa di Sekitarku...
- Blogger Comment
- Facebook Comment
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
0 komentar:
Posting Komentar